• Kami, Suvi Wahyudianto dan Aloysius. Kami sebagai seniman, yang selalu dalam konteks yang lebih sublim, hari ini, kami memasuki persoalan kemanusiaan yang-terutama, untuk kami begitu mendalam dari sebuah peristiwa yang silam, konflik etnis, Madura-Dayak.

  • Kami memasuki peristiwa yang silam. Dan persitiwa hari ini, saat ini adalah semacam olahan dari retakan narasi sejarah yang kecil, yang kerap diakibatkan dan ditinggalkan oleh guncangan narasi sejarah yang besar.

  • Narasi sejarah yang kami maksud adalah tentang ketubuhan, yang bukan sepenuhnya tentang nalar, dan ide-ide abstrak. Karena dunia datang dan meninggalkan kita dalam keadaan wujud, dalam keterlibatannya dengan persentuhan tubuh – yang kami yakini, di mana pun itu, hanya berisi cinta dan hasrat.

  • Tak ada kembali kegetiran, yang ada hanyalah kepekaan, kesadaran, dan harapan, tentang keadaan kami hari ini, sebagai generasi baru dan percakapan yang tulus, dalam memahami derita dan kematian yang lampau.

  • Kehidupan ini yang mengajarkan kami bahwa sejarah bukanlah segalah-galanya. Hidup yang begitu menggairakan, tak terlepakan dari cinta dan hasrat. Dengan hidup yang seperti demikian, keterlibatan dibangun melalui raga, dan bukan hanya dengan jiwa.

  • Kisah kisah berlalu, Siapakah sebenarnya manusia? Siapakah sebenarnya diri kita? tragedi dan luka terus terjadi sejak pertama kali kita mengenal kata itu, ia berulang sepanjang sejarah manusia. Siapakah sebenarnya diri kita? Siapakah sebenarnya manusia?