Kami datang dari peta hitam, hantu-hantu bersemayam. Katakan, katakan, kami tengah mencari jalan terang. Akan kami bakar hantu-hantu ketakutan itu dengan terang.
Kami memilih perjalanan, perjalanan untuk kembali menyusuri lanskap hantu-hantu ketakutan kami. Kepada angin, kepada udara, kepada air kepada tanah dan langit, tebing-tebing, laut dan sungai-sungai, kepada gelap dan terang.
Katakan, katakan, kami datang dari masa sekarang, menziarahi masa lalu. Dari perjalanan-perjalanan panjang, menempuh beribu kilometer jarak waktu.
Perjalanan kami mulai dengan titik koordinat pertama yang kami tuju, pelabuhan sepi, penghubung antara Madura dan Jawa.
Kami datang dari jauh, dan tak pernah terang...
Kami menzirahi ruang ini, mencari jawaban di dalam diri, laut di penghujung, suara alarm kapal bergegas, air yang asin, disini, diujung dermaga mengantarkan kehilangan dan kepergian.
Kepada tebing-tebing yang terbelah, kepada batu-batu putih yang mengeras, kepada suara-suara deru bising mesin pemecah batu.
Rumah-rumah akan dibangun, bata-bata disusun sebagai tempat berlindung, dari ketakutan yang purba, dari rasa dingin malam, atau panas yang membakar dari matahari Tuhan.
Rumah dibangun sebagai tempat berlindung, bukit-bukit hijau dibelah, batu-batu diam...
Suara menggema...
Lalu hilang.
Tatap aku, tatap kami, kami berdiri membawa rumah di pundak kami, dan bertanya-tanya… siapakah sebenarnya manusia...?
Sejarah penghancuran dan pemusnahan berulang, ia membangun, menghancurkan, membangun dan menghancurkannya lagi...
Tragedi gelap dan cahaya datang silih berganti...
Waktu itu matahari tenggelam, dan angin yang tak memiliki usia menyapu wajah kami.
Kemilau diujung memerah.
Kami melihatnya dari atas bukit pertapaan.
Bukit pertama kali seseorang menghuni Madura.
Disini asali di tulis, walau tak pernah kita tahu tentang benar adanya.
Hantu-hantu itu sesekali masih datang, dari relung gua yang gelap di dalam diri kami. Disini, bebatuannya lembab, di palung gua yang tak seberapa dalam air jatuh menetes.
Kulihat tatapan Aloysius meneduh...
Api terbakar, kita menuju rumah yang tenang... pada sebidang tanah tempat menyemayamkan cinta dan kehilangan... doa dibacakan, hujan datang sebentar kemudian reda, api mati.
Dan di tempat kami, senapan laras panjang dan pasukan hitam datang lima tahun sekali. Atas nama pengamanan.
Mata mata menangkap kami.
Tubuh yang asing, pada lanskap ketakutan kami.
Hantu itu membesar, membesar,
Kulihat mata sapi yang sendu, sedikit airmata, disana kulihat wajah kami.
Dan hantu itu menjadi samar, lalu menghilang...
Katakan pada kami, tentang bentang lenyap horison yang membelah penglihatan mata kami.
Pada lanskap pantai ini, kami berlarian kesana kemari.
Mengejar ombak, tertawa terbahak, beriak, menangis dan berisak.
Kami berdoa, diatas batu karang...
Menatap debur yang lelah.
Aminkan, aminkan, aminkan doa kami.
Diatasnya diatas batu karang, kulihat ia menatap jauh.
Hantu-hantu itu masih tak tersentuh...