Jubata-Jubata.
Kami datang dari jauh, dan tak pernah terang.
Di atas laut, kapal kami membelah Laut Jawa 32 jam.
Matahari datang dan tenggelam berganti.
Di lambungnya, kami berdiri.
Ratusan mata menuju kami.
Kulihat rindu, harapan berserak, kepulangan dan kepergian niscaya.
Atau pelarian terbaik.
Kami menjadi asing, atas diri.
Siapakah sebenarnya diri kami?
Sampailah kami di dermaga Pontianak, selepas malam pada suatu pagi membawa kami kepada Singkawang.
Disini, puluhan potrait masa silam pernah terekam di ingatan, tentang tapal batas antara kematian dan hidup.
Inilah ruang liminal, ruang diantara, yang ambang dan menegas.
Kilometer jarak telah kita tempuh, dari nyala matahari dan lampu jalanan berlalu.
Kami berdiri, menunggu rumah di pundak kami di datangi.
Kemarilah, siapapun bisa menghuni.
Laut Sentete, disini di penghujung sungai, tempat air mengalir sampai jauh.
Bertahun silam dalam gelap perahu melaju, membawa ibu dan anak-anak.
Ada seseorang bernama Ali menepati janji.
Dan ia tak pernah pergi.
Ibu dan anak selamat dalam gelap.
Perahu kami berjalan mundur, memecah sungai sungai.
Kulihat masa lalu berlalu.
Merekam lanskap kota dalam ketiadaan.
Ada yang sublim, dan tak terkatakan.
Aku datang kedua kalinya ke kota ini, dengan perasaan yang tak sama.
Perahu ini melaju, semakin jauh, membelah kota.
Membelah sejarah yang gelap dan anyir.
Disini, aku melihatnya.
Bersama Aloysius hantu itu semakin samar.
Seperti bayang...
Katakan pada kami, hantu hantu itu hanya bayang.
Dengan nyala cahaya kita akan membunuhnya.
Perjalanan ini sampai pada ujung jaraknya.
Aruk... tapal batas negara membangun utopianya.
Untuk hidup dalam damai.
Tapi saling bunuh, tapi saling bunuh, dan terus berulang.
Pohon tua menatap kami, ia menunggu.
Sama sepertiku, sama seperti Aloysius.
Kami menunggu rumah di pundak kami di huni.
Siapapun bisa memasukinya.
Siapapun bisa menghuninya.
Kemarilah...